17 Agustus Nyogyakarto

Selamat malam kawan,
Bagaimana kabarnya setelah lumayan lama kita tidak bertegur sapa..
Semoga semuanya sehat dan lancar dalam semua kesibukannya ya.

Hari Kemerdekaan 17 Agustus baru saja kita lewati bersama, sungguh sangat berkesan pastinya moment sekali setahun tersebut. Mumpung belum terlalu lama, saya ingin share tentang pengalaman saya di hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Ini bukan hal yang berkaitan dengan upacara bendera karena kebetulan saya juga tidak mengikuti kegiatan upacara di kantor. Ini juga bukan hal yang berkaitan dengan lomba balap karung atau bola sepak seperti yang dilakukan Bapak Jokowi untuk menghibur ribuan warga di sekitar waduk Pluit bersama para selebritis. Dan ini juga bukan tentang hal arak-arakan seperti yang dilakukan marching band  mengelilingi kota. Lha terus berkaitan dengan hal apakah sharing saya ini?

Pagi hari, 17 Agustus 2014 saya bangun pukul 06.30 WIB sebelum akhirnya tertidur lagi dan bangun kembali pukul 08.00 WIS (Waktu Indonesia Sebenarnya) hehehe...
Saya langsung mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke Gereja. Oia tanggal 17 Agustus kali ini jatuh di hari Minggu dan saya lagi berada di kota Gudeg Jogjakarta karena di hari sebelumnya menghadiri acara pernikahan teman sekantor.

Sampai di Gereja (GKI Ngupasan) yang letaknya tidak jauh dari Malioboro dan Alun-alun kota Jogja, saya langsung masuk bersama adik saya. Di sana kami beribadah seperti ibadah minggu biasanya, namun hal yang menjadi pembeda adalah kami menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Walaupun saya tidak bisa mengikuti upacara di kantor ternyata suasana kemerdekaan di gereja tidak jauh berbeda. Selain itu sehabis khotbah kami juga menyanyikan lagu Indonesia Pusaka. Padahal sebelumnya kami sudah sepakat tuk ibadah di HKBP Kota Baru namun dikarenakan beberapa hal non teknis akhirnya kami jadi ibadah di GKI Ngupasan.

Sehabis khotbah ternyata ada moment kesaksian dari seorang pemuda yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Pada awal si pemuda memperkenalkan diri dan langsung memulai kesaksiannya rasa bosan sudah terlihat di beberapa jemaat yang hadir dan termasuk saya. Namun begitu beberapa foto ditayangkan di layar dan video diputar, perasaan kami langsung bercampur antara terharu, speechless, gembira, dan yang paling penting benar-benar merasakan yang sesungguhnya.

Pemuda tersebut bernama Bram dan seorang yang berasal dari Purwakarta. Sehabis kuliah di salah satu perguruan tinggi jurusan Teknik Mesin, Bram terpanggil untuk melayani di Tanah Papua. Berbagai informasi dia cari demi mewujudkan impiannya itu, meskipun keluarga dan orang tua tidak menyetujuinya dikarenakan Bram ke Papua belum menemukan tujuan yang jelas seperti tempat, apa yang dilakukan dan bagaimana nantinya kehidupan disana. Namun hal itu tidak mengurungkan niat Bram untuk berangkat ke Papua.

Pada tahun 2009 Bram berangkat ke Papua bermodalkan uang 2 juta. Dia akhirnya memutuskan pergi ke suatu tempat yang masih primitif yang jaraknya mencapai 3 hari bila berjalan kaki setelah turun dari pesawat capung. Kampung itu bernama Pipal dan sudah pasti kita belum pernah mendengarnya bukan?
Disana Bram mengajar beberapa anak yang masih buta huruf dan orangtua yang masih memiliki keinginan untuk belajar. Bahkan hal memakai baju juga diajarkan Bram karena pada dasarnya mereka lebih terbiasa memakai koteka. Baju tersebut bisa dipakai dalam waktu yang cukup lama karena persediaan yang masih sangat minim dan sabun untuk mencuci baju juga belum ada. Hal inilah yang membuat beberapa orang mengidap penyakit kusta dan kulit lainnya.
Dihadapkan dengan situasi ini, Bram terpaksa menjadi tenaga medis dadakan dengan peralatan dan pengetahuan yang sangat terbatas. Jika bantuan medis tidak berhasil dilakukan maka bisa-bisa nyawa Bram yang menjadi taruhannya. Puji Tuhan Bram bisa meringankan penyakit mereka dengan berbekan sumber daya alam yang dimiliki.

Warga disana juga baru mengenal Perjanjian Baru dalam Alkitab sehungga hampir setiap hari Bram berbagi tentang Firman Tuhan (Perjanjian Lama) kepada mereka.
Ada beberapa hal yang sudah dari waktu lama diinginkan oleh warga namun salah satu hal yang benar-benar diinginkan adalah warga ingin diperhatikan pemeritah setempat agar dapat lebih maju lagi dari segi pendidikan, persediaan bahan pokok, dan akses yang lebih cepat. Ternyata untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan alat transportasi dan yang paling mungkin adalah menggunakan pesawat capung atau helikopter. Hal yang mustahil dilakukan dikarenakan desa itu belum memiliki tempat untuk mendarat ataupun landasan pesawat atau helikopter. Bram pun berpikir keras bagaimana untuk menyelesaikan masalah ini.

Akhirnya Bram mengajak warga tuk bekerjasama meratakan tempat yang ditumbuhi oleh pohon-pohon besar dan tumbuhan liar. Berbekal linggis dan alat potong yang minim maka mereka bekerjasama untuk mewujudkan mimpinya. Bram membutuhkan waktu 3 tahun untuk menyelesaikan semuanya, sungguh waktu yang cukup lama jika kita bandingkan apabila dikerjakan dengan alat-alat berat seperti di perkotaan. Berkat usaha dan hasil kerja keras mereka maka mimpi mereka akan menjadi kenyataan.

Bram pun menghubungi rekan yang berada di kota Papua untuk menindaklanjuti hasil pekerjaan mereka apakah sudah layak untuk mendaratkan pesawat disana. Setelah beberapa hari ternyata Bram mendapatkan informasi yang kurang memuaskan, pesawat tidak bisa mendarat dikarenakan landasan tidak sesuai dengan standard penerbangan internasional, bila dipaksakan nantinya akan terjadi kecelakaan. Bram merasa putus asa seketika karena apa yang dikerjakannya selama ini dengan warga adalah hal yang sia-sia. Apa yang akan dikatakannya kepada warga nantinya?
Bram mencari cara lagi bagaimana menyelesaikan masalah ini. Dia berdoa kepada Tuhan.

Bram menghubungi temannya pilot dan mengajak untuk datang ke desanya melihat keadaan yang sebenarnya. Temannya menawarkan untuk naik helikopter namun Bram tidak memiliki uang yang cukup membiayai heli tersebut. Mereka pun jalan kaki selama 3 hari menuju ke desa. Sampai di desa, pilot tersebut mulai mengukur berapa sebenarnya tingkat kemiringan dan kelayakan pendaratan pesawat disana. Pilot juga sambil mengajarkan bagaimana cara mengukur kepada warga disana sambil diiringi tari-tarian khas daerahnya.

Si pilot pun akhirnya mengatakan bahwasanya landasan sudah layak untuk digunakan dan siap untuk mendaratkan pesawat capung untuk mengantar beberapa logistik dan peralatan lainnya yang dibutuhkan warga Pipal. Warga sangat bersukacita mendengarnya dan langsung berpesta memberikan penghargaan kepada Bram dan pilot berkat kerja kerasnya selama ini. Pada bulan Juni tahun 2013 akhirnya pesawat pertama kali mendarat di Pipal.

Sungguh mujizat yang terjadi di dalam kehidupan Bram akan pelayanan tulus yang dilakukannya selama di Tanah Papua. Hal yang tadinya tidak mungkin menjadi bisa dilakukan karena Bram selalu berpegang teguh "Bagi Tuhan tak ada yang Mustahil" jika kita melakukannya dengan ikhlas dan kerja  dengan hati yang tulus.
Apabila hal kecil yang kita lakukan dapat membuat orang merasa bersyukur dan bersukacita, bagaimana lagi jika hal besar yang kita lakukan?

Saya merasa kesaksian Bram ini sungguh sangat menginspirasi bagi kita apalagi Generasi Muda di dalam merayakan Kemerdekaan RI yang ke-69 tahun. Semoga kita bisa lebih peka lagi akan apa yang terjadi di sekitar kita. Semoga kita dapat benar-benar menjadi Terang bagi orang yang ada di sekeliling kita dan Terang bagi Indonesia tentunya.

Salam...
MERDEKA....

Related Articles

0 comments:

Ads 468x60px

Featured Posts

Social Icons

Christian Moreys Nainggolan | Create your badge